Apakah Pernikahan Dini Menjadi Solusi Ketimpangan Akses Pendidikan di Masa Pandemi?

Chyntia Dewi
4 min readJan 24, 2021

--

“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”. Begitu salah satu ungkapan Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Rasanya ungkapan ini sangat relevan dengan kondisi dunia yang tengah dilanda pandemi Covid-19. Pandemi mengharuskan kegiatan belajar mengajar dialihkan dari pertemuan tatap muka menjadi daring, tak terkecuali di Indonesia. Kegiatan pembelajaran yang biasa siswa lakukan di sekolah terpaksa dialihkan dari rumah. Rumah pun akhirnya tidak hanya berfungsi sebagai tempat beristirahat, tetapi juga menjadi sekolah.

Sesuai dengan keputusan Kemdikbud bahwa per 7 Agustus 2020 untuk tahun ajaran 2020/2021 semester ganjil hanya wilayah dengan zona hijau dan kuning yang diizinkan untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka, sedangkan wilayah dengan zona merah dan oranye harus melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Dari total 514 kabupaten dan kota hanya 163 kabupaten/kota yang diizinkan untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka. Ini menunjukkan bahwa 68% daerah melaksanakan sekolah secara daring. Jika dilihat kembali hanya 4 ibu kota provinsi dari total 34 provinsi di Indonesia yang menerapkan pembelajaran tatap muka. Artinya, sebagian besar perkotaan masih menerapkan PJJ.

Pembelajaran daring bertumpu pada teknologi. Agar terasa seperti di kelas, guru memindahkan pembelajaraan ke dalam ruang kelas virtual dengan memanfaatkan video conference¸seperti Zoom. Tidak hanya itu, media sosial juga digunakan sebagai media penunjang untuk memperlancar komunikasi guru dan siswa. Pemanfaatan berbagai platform daring membutuhkan akses digital, baik perangkat, seperti komputer dan gawai, koneksi internet, serta keterampilan.

Sayangnya, tidak semua siswa di perkotaan memiliki akses digital. Mengapa demikian? Kesenjangan sosial dan ekonomi menjadi alasan utama. Untuk memiliki dan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), siswa harus membeli dengan harga yang tidak murah. Masyarakat golongan bawah kesulitan memiliki perangkat tersebut karena pendapatan yang tak seberapa dan himpitan kebutuhan pokok. Menurut data BPS (2019) hanya 20% penduduk Indonesia memiliki komputer dengan pengguna di perkotaan 31,37%. Padahal komputer merupakan media yang ideal untuk proses belajar mengajar karena lengkapnya fasilitas. Akses internet juga belum merata, bahkan di Ibu Kota, Jakarta. BPS menyatakan bahwa hanya sekitar 53,06% siswa memiliki akses internet. Walaupun saat ini banyak layanan internet cepat, tidak semua siswa dapat membeli akses tersebut.

Ketidaktersediaan perangkat dan koneksi internet berkorelasi dengan kemampuan pengoperasian digital. Walaupun siswa tumbuh sebagai generasi digital native, keterampilan siswa golongan bawah akan lebih rendah daripada golongan atas. Ini disebabkan karena adanya perbedaaan akses teknologi digital. Sederhananya siswa miskin cenderung lebih gagap teknologi.

Kesenjangan digital yang semakin terlihat jelas selama PJJ menunjukkan masih bermasalahnya akses pendidikan di Indonesia. Ini diperparah dengan angka kemiskinan yang meningkat selama pandemi. BPS menyatakan bahwa pendapatan masyarakat ekonomi rendah paling terdampak pandemi. PHK dan terbatasnya ruang gerak menjadi penyebab utama. Kemiskinan yang merajalela dan mahalnya pendidikan di Indonesia membuat angka putus sekolah di masa pandemi semakin meningkat.

Semakin rendah pendidikan seseorang ternyata berkorelasi dengan semakin tingginya kasus pernikahan dini. Anak yang putus sekolah dianggap sebagai beban keluarga. Untuk meringankan beban keluarga, banyak orang tua yang akhirnya memutuskan untuk menikahkan anak mereka. Alasannya setelah menikah anak bukan lagi tanggung jawab orang tua. Ini diperkuat dengan data dari Kementerian Perempuan dan Perlindungan anak bahwa kasus pernikahan dini meningkat menjadi 24 ribu selama pandemi. Indonesia juga merupakan negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi ke-8.

Pernikahan dini sejatinya bukan solusi kemiskinan. Anak yang menikah dibawah 18 tahun akan kehilangan kesempatan pendidikan. Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh pada peningkatan kemiskinan. Anak-anak putus sekolah tidak memiliki bekal yang cukup untuk bersaing dalam dunia pekerjaan. Pada akhirnya pernikahan dini justru mempertahankan kemiskiann antargenerasi.

Jika keadaaan ini tidak diperbaiki apa jadinya Indonesia setelah pandemi? Akan banyak siswa putus sekolah dan berlanjut pada peningkatan kasus pernikahan dini. Bayang-bayang kemiskinan akan terus menghatui Indonesia.

Menurut teori human capital, modal utama manusia adalah pendidikan dan keterampilan. Dengan artian bahwa kualitas diri seseorang akan meningkat lewat pendidikan. Peningkatan kualitas diri akan menurunkan angka kemiskinan. Ketika kemiskinan menurun maka angka pernikahan dini akan ikut berkurang. Berikut beberapa solusi yang dapat dilakukan:

1. Pemerataan akses digital. Pandemi mengajarkan kita pentingnya kolaborasi pendidikan dan teknologi. Maka dari itu, bantuan perangkat digital dan pemerataan akses internet sangatlah penting. Sekolah juga diharapkan mampu mengefektifkan mata pelajaran Teknologi dan Informasi agar semua siswa dari golongan apapun punya kesempatan belajar yang sama.

2. Adakan mata pelajaran edukasi seks dan pernikahan dini. Walau bahasan ini masih menjadi hal tabu bagi masyarakat Indonesia, tetapi pendidikan ini sangat penting untuk mengubah pola pikir siswa. Berikan juga sosialisasi pada orang tua. Setiap orang adalah guru. Bukan hanya guru formal yang dapat memberikan edukasi, orang tua juga harus mampu menjadi guru untuk anaknya. Buatlah rumah sebagai tempat edukasi.

Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, baik mereka yang berasal dari keluarga kaya maupun miskin. Lewat pendidikan manusia dapat terus berkembang dan menciptakan kemajuan bangsa. Tidak ada anak yang dapat ditukar untuk mengurangi beban keluarga. Semua berhak mendapatkan hak untuk meraih cita-cita. Akses pendidikan seharusnya menjadi fokus utama pembangunan. Ditunjang dengan fasilitas digital Indonesia akan mengejar ketertinggalan. Seperti kebanyakan orang bilang “anak muda adalah harapan bangsa”.

Daftar Pustaka

Anggraeni, T. (2020, Oktober 21). Kasus Pernikahan Dini Meningkat Selama Masa Pandemi. Retrieved from yoursay.suara.com: https://yoursay.suara.com/news/2020/10/21/110151/kasus-pernikahan-dini-meningkat-selama-masa-pandemi

Deursen, A. v., & Dijk, J. v. (2010). Internet skills and the digital divide. New Media & Society, 893–911.

DS, S. B., & Deni, R. (2020, Agustus 9). Daftar 163 Kabupaten/Kota Zona Kuning yang Diperbolehkan Belajar secara Tatap Muka di Sekolah. Retrieved from tribunnews.com: https://www.tribunnews.com/pendidikan/2020/08/09/daftar-163-kabupatenkota-zona-kuning-yang-diperbolehkan-belajar-secara-tatap-muka-di-sekolah?page=3

Fajar, T. (2020, Juni 22). Pendapatan Masyarakat Kelas Bawah Paling Terdampak Covid-19. Retrieved from economy.okezone.com: https://economy.okezone.com/read/2020/06/22/320/2234305/pendapatan-masyarakat-kelas-bawah-paling-terdampak-covid-19

Kemdikbud, P. W. (2020, Agustus 7). Penyesuaian Keputusan Bersama Empat Menteri tentang Panduan Pembelajaran di Masa Pandemi COVID-19. Retrieved from kemdikbud.go.id: https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/08/penyesuaian-keputusan-bersama-empat-menteri-tentang-panduan-pembelajaran-di-masa-pandemi-covid19

Suryadinata, A. B. (2020, Agustus). Masalah Aksesibilitas Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Retrieved from vutura.io: https://vutura.io/blog/masalah-aksesibilitas-pembelajaran-jarak-jauh-pjj/

Triwibowo, W. (2020, April 6). Gagap 3 aspek vital: kuliah online di tengah COVID-19 bisa perparah gap akses pembelajaran bermutu bagi mahasiswa miskin. Retrieved from theconversation.com: https://theconversation.com/gagap-3-aspek-vital-kuliah-online-di-tengah-covid-19-bisa-perparah-gap-akses-pembelajaran-bermutu-bagi-mahasiswa-miskin-134933

--

--